
A leader takes people where they want to go. A Great leader takes people where they don’t necessarily to go but ought to be (Rosalynn Carter).
Barangkali hampir dipastikan sebagian besar para pembaca paham arti turnaround (putar haluan), tapi tidak banyak tahu arti istilah “trengginas” yang saya ambil sebagai judul artikel minggu ini, sebuah term dalam bahasa Jawa yang kini sudah teramat “jarang” sekali digunakan. Lamat-lamat, saya mencoba mengingat arti kata itu sembari memundurkan ingatan akan pelajaran kelas bahasa daerah (bahasa Jawa) yang saya ikuti ketika saya duduk di bangku sekolah dasar. Trengginas bisa berarti ganas tetapi juga bisa berarti cekatan dan tanggap.
Beberapa hari yang lalu, Mbak Herning Banirestu, kolega saya yang mendedikasikan kehidupan profesionalnya sebagai wartawan Swa menghubungi saya, untuk minta tanggapan atas kinerja sebuah Perusahaan pelat merah bernama PT.Industri Telekomunikasi Indonesia atau INTI (Persero), dimana jajaran direksi baru yang dipimpin oleh Bapak Irfan Setiaputra ketika menerima tampuk kepemimpinan kondisi keuangannya rugi 15,32 miliar. Tak Lama kemudian setelah dilakukan pembenahan dan perubahan dengan trengginas, setahun kemudian kondisi keuangannya mendadak menjadi positif, untung tipis 3,9 Miliar. Sebuah langkah perbaikan yang cukup signifikan untuk rentang waktu yang teramat pendek tersebut. Langkah “trengginas” apa saja yang dilakukan Pak Irfan dan jajarannya sehingga menghasilkan hasil menjulang dalam waktu singkat?
Ada beberapa langkah “jenial” Pak Irfan dalam membenahi PT.Inti. Dari segi efisiensi, membatasi pemakaian kartu kredit direksi, melarang pemakaian mobil dinas untuk keperluan pribadi. Dari segi organisasi, memecah 5 SBU menjadi 20 fungsi, sehingga lebih cepat pengambilan keputusannya. Sementara dari sisi bisnis menggejot profit margin dari existing business semaksimal mungkin. Tak kalah penting, moral karyawan diinjeksi dengan menggelontorkan dana untuk kenaikan gaji karyawan 43% dan tanpa PHK meski rapor keuangannya masih merah (detail langkah pembenahan Pak Irfan bisa dibaca di majalah Swa edisi 09/XXVI/29 April-11 Mei 2010).
Apa yang dilakukan Pak Irfan di PT.Inti merupakan langkah manajemen yang sering disebut turnaround. Turnaround (sering diartikan berputar haluan) merupakan istilah yang populer dalam terminologi change management (manajemen perubahan) yang sering digunakan dalam memperbaiki perusahaan yang sedang sakit (dalam kondisi krisis). Mengelola perusahaan yang sehat dan tumbuh, sangatlah berbeda dengan mengelola perusahaan sedang dalam krisis atau sedang dalam kondisi jeblok keuangannya seperti yang dialami PT. INTI di atas. Pelajaran bisnis yang biasa diterima di sekolah bisnis biasanya lebih menekankan pada “pengelolaan” perusahaan dalam kondisi normal yang cenderung naik. Bukan mengelola perusahaan dalam “kondisi sakit”, karena biasanya untuk mengelola sebuah perusahaan sakit, diperlukan seseorang berkapasitas “leader” bukan sekedar berkualifikasi “direktur”, yang berani mengambil langkah-langkah yang terkadang “tidak lazim”, selain kompetensi manajerialnya yang mumpuni merupakan sebuah keharusan.
Memang ada beberapa pendekatan dalam manajemen turnaround. Tetapi langkah turnaround trengginas yang diterapkan Pak Irfan jelas beliau adalah seorang yang leader yang memahami kondisi lapangan dengan baik (local wisdom). Sebenarnya beliau bisa menggunakan pendekatan turnaround gaya slash and burn (sikat dan bakar) yang cukup radikal dan pernah dipraktekan oleh CEO General Electric kenamaan Jack Welch ketika “membenahi” GE di era 80-an. Pendekatan ini biasanya menekankan “cashflow” adalah segala-galanya. Biasanya PHK dan segala pengetatan ikat pinggang merupakan derivasi pelaksanaan dari pendekataan ini. Tapi hal itu tidak dilakukan sang leader yang pernah menjadi Direktur Pelaksana PT.Cisco System Indonesia.
Saya melihat keberhasilan turnaround yang digelindingkan Pak Irfan disamping kemampuan trengginas mumpuni yang beliau punyai, saya melihat keteladanan yang dipertontonkan lebih mempunyai “efek” yang signifikan terhadap proses change management yang diusung. Seperti pembatasan klaim kartu kredit milik direksi, mobil direksi “turun kelas” dari Camry ke Nissan Teana. Tiap hari Sabtu-Minggu pun mobil kantor harus “dikandangkan” di kantor. Kalo toh mau memakai, bensin dan honor sopir merupakan beban pribadi. Contoh ketelandanan seperti inilah, walaupun hal remeh, punya pengaruh besar. Jadi efisiensi mengencangkan ikat pinggang yang didengung-dengungkan tidak hanya dirasakan karyawan semata, tetapi juga oleh jajaran direksi.
Keteladan seperti inilah yang acapkali lenyap dan alpa dilaksanakan oleh jajaran direksi perusahaan di Indonesia ketika melaksanakan proses perubahan manajemen. “Action is speak louder than speech”, salut untuk keberhasilan Anda, Pak Irfan…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar