
Karena dihimpit kemacetan yang luar biasa, saya memutuskan naik ojek untuk “memangkas” waktu. Di perjalanan saya sempat mengobrol sebentar perihal kehidupan Bapak Ojek tadi. Dari cerita Bapak Ojek tadi, saya jadi tahu kalau Bapak Ojek tadi adalah “mantan” petani di sebuah desa di daerah Jawa yang melego tanah sawahnya, untuk membeli sepeda motor karena hasil dari pertaniannya menurutnya “kurang dapat” diandalkan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. “Jadi sebagian dari penjualan tanahnya saya belikan motor untuk ngojek”, ungkap Bapak Ojek sambil meliak-liuk stang sepeda motornya dengan tangkas dan cekatan. “Oh begitu…”, jawab saya mencoba bersimpati. Sebuah keputusan yang tidak mudah, kata saya dalam hati sekaligus prihatin.
Cerita tentang Bapak Ojek tadi sesaat mengajak ingatan saya tentang fenomena Bapak petani dari negeri Sakura. Kebetulan tempat kuliah dulu merupakan desa yang di Jepang dikenal sebagai salah sentra lumbung padi dan penghasil buah suika (semangka) yang cukup terkenal. Kebetulan untuk mengirit pengeluaran, saya dan istri seringkali membeli sayuran dan lauk pauk yang kita masak sendiri, maklum tidak terlalu banyak uang dari sponsorship yang kita terima. Terkadang saya kalau belanja melihat harga tomat besar ranum 2 buah harganya “nyaris sama” dengan harga 6 paha ayam yang dijual di supermarket, artinya kita melihat dari segi “harga”, produk agro-industry milik petani Jepang mendapat tempat dan perlakuan yang cukup “kompetitif”.
Belum lagi kalo menjelang panen suika (semangka), harga semangka besar seharga Rp.60.000 di supermarket di Indonesia bisa dihargai mendekati 8000 yen per buahnya (dengan kurs sekarang, bisa kurang lebih Rp.800.000). Mungkin kalau dibandingkan harganya, dengan peta agro-industry Jepang yang relatif maju, bukan perbandingan “apel dengan apel” dengan kondisi Indonesia. Tetapi yang ingin saya tekankan betapa perhatian negera tersebut terhadap “nasib” petani bila dibandingkan dengan nasib “mantan” petani yang beralih profesi sebagai pengojek seperti cerita di atas tadi, sungguh perbandingan bumi dan langit. Perhatian pemerintah Jepang amatlah tinggi, meskipun petani dan agro-industry di Jepang kontribusi GDP-nya bukanlah apa-apanya jika dibandingkan dengan income industri raksasa Manufacture Jepang, tapi toh perhatian pemerintah tetaplah besar.
Ada pelajaran yang menarik di sini, bahwa sebagai Negara agraris sekaligus lautan yang luas, Indonesia mempunyai basis core-industry yang kuat di agro-industry dan hasil laut,tetapi mengapa dua industri tadi terkesan kurang digarap maksimal. Padahal kalo digarap serius, saya yakin hasilnya tidak “kalah mengkilap” dengan omset hasil dari industri manufacture.
Mengapa agro-industry dan hasil laut perlu dilirik ?
Pertama, secara infrastruktur dan sosiologis, bangsa kita adalah kuat di bidang ini. Jadi tidak perlu “malu” menjadi Negara yang struktur economic back-bone-nya menggantungkan pada agro-industry. Ikut-ikutan bermetamorfosis terlampau cepat menjadi menjelma menjadi Negara berbasis manufaktur, IT, atau technology yang nyata-nyata jauh dari core-competence sebagian besar penduduk Indonesia (Baca artikel : Jebakan Soliditas Bisnis Model), social cost (biaya sosial) seperti yang dialami Bapak Ojek akan selalu berulang dan mahal sekali biayanya. Dan akhirnya membuat para petani di desa “hijrah” jadi tukang ojek dan tenaga tidak terampil lainnya yang akan menginvasi kota-kota besar. Sebuah masalah sosial sendiri kalau permasalahannya tidak ditangani.
Kedua, di tengah cepatnya pertumbuhan penduduk dunia yang mendekati deret ukur, itu semua orang “membutuhkan” makanan. Termasuk Negara manufaktur terhebat sekalipun, penduduknya tetaplah membutuhkan makanan karena itu makanan adalah kebutuhan pokok. Lihat penduduk Jepang yang tetap membutuhkan pasokan udang untuk ebi-furai-nya (udang goreng) menemani makanan udong (mie besar-besar ala Jepang) atau soba. Yang udang mentahnya kebanyakan masih dipasok dari Thailand dan Indonesia.
Jadi kalau toh kita akan merambah Industri manufaktur, itu akan lebih bermanfaat bila ada hubungannya lekat dengan sektor agro-industry. Misalnya, masih sering saya mendengar kalau panen buah durian di daerah Riau, Sumatra, seringkali pas panen, buah durian dijual murah satu truk dihargai berapa ratus ribu saja, karena adanya kelebihan pasokan. Padahal di Pasar Asia di deket Tokyo, saya pernah melihat harga sebuah durian dijual 13.000 Yen alias 1,3 juta. Coba kalau industri pengalengan makanan/buah dibangun di Sumatra, berapa efek ekonominya? Gak perlu ada petani jual tanah untuk ngojek di kota lagi, saya jamin itu.
Terkadang kita tidak perlu “silau” dengan kemampuan Negara lain, atau jangan-jangan kita alpa melihat “potensi” diri kita ? Atau kita dihinggapi “inferiority-complex” yang terlampau akut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar